RSUD Kajen Respons Cepat Kasus Gigitan Ular, Kirim Antivenom dan Edukasi Masyarakat
KFM PEKALONGAN, KAJEN – RSUD Kajen menunjukkan langkah cepat dan konkret dalam merespons kasus pasien gigitan ular yang sempat menjadi perhatian publik. Direktur RSUD Kajen dr. Imam Prasetyo menegaskan, pihaknya telah mengirimkan 15 vial antivenom ke RSI Pekajangan untuk membantu penanganan medis pasien.
“Sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian, kami kirimkan 15 vial anti-venom ke RSI Pekajangan. Kami juga siap menerima kembali pasien jika kondisinya memungkinkan untuk dirujuk ulang dan pihak keluarga menghendaki,” terang Direktur RSUD Kajen.
Selain penanganan langsung, RSUD Kajen bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan juga bergerak ke arah peningkatan kapasitas tenaga medis. Mereka menggelar pelatihan penanganan kegawatdaruratan gigitan ular secara daring, menghadirkan Dr. dr. Tri Maharani, Sp.Em, Ketua Tim Keracunan dari Kementerian Kesehatan. Pelatihan ini diikuti oleh lebih dari 120 tenaga kesehatan via Zoom dan disaksikan lebih dari 500 peserta lewat YouTube.
RSUD Kajen juga menyampaikan bahwa dalam sepekan terakhir, mereka telah menangani enam pasien gigitan ular, tiga di antaranya masih dirawat dan menunjukkan perkembangan positif.
Baca juga: Transformasi Digital RSUD Kajen Lewat Inovasi Si-Petir, Edukasi Gizi Jadi Lebih Menyenangkan
“Kasus ini menjadi evaluasi penting bagi kami. Kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas layanan, memperkuat sistem penanganan, serta menjaga kepercayaan masyarakat dengan langkah nyata,” tambahnya.
Tidak berhenti pada pelatihan internal, RSUD Kajen dan Dinkes juga akan turun langsung ke masyarakat. Mereka berencana menggelar bakti sosial dan edukasi di lingkungan tempat tinggal pasien, guna memberikan pengetahuan mengenai pertolongan pertama gigitan ular yang tepat.
Banyak Salah Kaprah, Edukasi Jadi Kunci
ijelaskan, Dr. dr. Tri Maharani menyoroti banyaknya kesalahan dalam penanganan awal gigitan ular yang masih dipengaruhi mitos dan budaya.
“Banyak yang masih percaya pengobatan dukun, menyedot racun, diikat, diberi air panas, padahal itu semua salah dan justru memperburuk,” ujarnya.
Menurutnya, penanganan pertama yang benar adalah imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang tergigit tidak bergerak. Sebab, gerakan otot justru mempercepat penyebaran racun melalui kelenjar getah bening.
Selain edukasi masyarakat, dr. Tri juga mendorong adanya standarisasi tata laksana medis gigitan ular, karena materi ini belum banyak diajarkan dalam kurikulum dokter, perawat, maupun bidan. Ia telah menyusun tiga pedoman nasional, termasuk Pedoman WHO 2016 dan pedoman keracunan 2024, yang kini dijadikan acuan nasional dan sudah dibagikan saat pelatihan.
Baca juga: RSUD Kajen Luncurkan "NeuCare": Inovasi Digital Terintegrasi untuk Lawan Stroke Berulang
Terkait pasien di RSI Pekajangan, ia menjelaskan bahwa pasien menunjukkan gejala neurotoksin sistemik, meskipun tidak ada spesimen ular yang dapat diidentifikasi.
“Diagnosisnya adalah suspect unidentified snake dengan neurotoksin sistemik. Kami telah memberi antibisa, ventilator, hingga antikolinesterase. Progresnya ada, tapi karena sifat neurotoksin, pemulihan memang butuh waktu,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa bantuan antibisa datang dari berbagai sumber: 15 vial dari RSUD Kajen, 3 dari Kemenkes, 5 dari Dinkes Jateng, serta beberapa dari provinsi lain seperti Sulawesi, DKI, dan Bali.
Dr. Tri menegaskan, kasus ini harus menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gigitan ular dan pentingnya pertolongan pertama yang benar.
“Kalau masyarakat paham, dan tenaga medis punya SOP yang baku, maka nyawa bisa lebih mudah diselamatkan,” pungkasnya.
Komentar Anda